Tradisi Turun Menurun di
Sianggai-Anggai
Ritual Masyarakat Sebelum Turun ke
Sawah
RITUAL
atau Bakawue sebelum turun ke sawah, bagi sebahagian masyarakat modren memang
dianggap sudah kuno. Namun tradisi semacam ini, ternyata masih bertahan di
Jorong Sianggai-Anggai, nagari Sariak Alahan Tigo, kecamatan Hiliran Gumanti,
Kabupaten Solok. Bahkan ritual di nagari yang masih terbilang terisolir itu,
dengan cara berdo’a bersama yang digelar di lapangan terbuka serta diikuti oleh
seluruh penduduk yang berdiam di jorong
tersebut, masih bertahan sampai saat ini dan tidak pernah ternoda oleh arus
moderen seperti sekarang.
Selain
itu, upacara minta selamat atau disebut juga ‘Bakawue’ sebelum turun ke sawah yang
dilakukan dua hari berturut-turut dan harus dilakukan pada hari Jum’at dan
Sabtu pada setiap habis lebaran haji dan digelar satu kali dalam tiga tahun
itu, sudah berlangsung selama 82 kali atau sudah berlangsung selama 246 tahun
atau sudah dilaksanakan sejak tahun 1771.
Upacara
dan tardisi unik yang digelar pada hari Jum’at dan Sabtu tangal 23 dan 24
September kemaren, juga dihadiri Wakil Bupati Solok, Yulfadri Nurdin, SH,
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Drs Musfian, MM, Sekretaris Dinas
Pekerjaan Umum Kabupaten Solok, Ahmad Taufik, Camat Hiliran Gumanti,
Syafruddin, Walinagari Sariak Alahan Tigo, Efdizal Mandaro Sutan, SH,
walijorong Sianggai-Anggai, Bahrun Nain, tokoh masyarakat setempat Drs Rusli
Intan Sati, MM, Zulbakti, SPd dan Oktavianus Malin Sutan, Kapolsek Hiliran
Gumanti, AKP Amrizal dan para tokoh masyarakat dan niniek mamak, Anggota
Babinsa, KAN, BMN dan pemuda nagari Sariak Alahan Tigo serta ribuan masyarakat
dari Sariak Alahan Tigo dan ada yang datang dari Talang Babungo.
Ketua
Panitia Pelaksana acara, Kamra dalam laporannya menyampaikan bahwa tradisi
Bakawue yang rutin dilaksanakan setiap tiga tahun sekali dan tetap dilaksnakan
pada hari Jum’at dan Sabtu setia bulan haji dan dilaksanakan satu kali dalam
tiga tahun ini, sampai saat ini sudah dilaksanakan sebanyak 82 kali. Sementara
Walinagari Sariak Alahan Tigo, Efdizal Mandaro Sutan, SH, menyampaikan bahwa
dirinya berharap agar budaya leluhur yang masih bertahan dan tidak ternodai
oleh pengaruh arus moderen, seharusnya mendapat perhatian khusus dari
pemerintah daerah, khususnya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Solok.
“Kita berharap kedepannya Pemkab Solok memasukan kegiatan bakawue ini ke dalam
agenda Pariwisata Kabupaten Solok, sehingga bisa diketahui oleh masyarakat umum
dan menjadi wisata budaya bagi turis lokal dan asing,” jelas Efdizal Mandaro
Sutan. Dijelaskannya, nagari yang terdiri dari 8 jorong dan berpenduduk sekitar
8000 ribu jiwa ini, masih perlu perhatian khusus dari Pemerintah, karena sampai
saat ini masyarakatnya belum bisa berkomunikasi menggunakan HP karena signal
dari jaringan seluler operator manapun belum masuk.
Tokoh
masyarakat setempat Angku Malayu (65) menyebutkan bahwa nama Sianggai-Anggai
berasal dari nama dua orang tua yang tinggal digubuk tua, ketika ditemukan oleh
warga Talaok, yang mencari lahan baru ke arah Timur dari Talaok yakni daerah
Sianggai-Anggai sekarang. “Pada waktu itu warga yang datang kesini melihat duao
orang tua yang tinggal di gubuk dan berjalan teranggai-anggai atau
tertatih-tatih, sehingga waktu pulang diceritakan ke masyarakat di daerah
tersebut ada dua orang tua yang teranggai-anggai dan makanya lokasi ini disebut
Sianggai-Anggai,” jelas Angku Melayu. Angku Malayu juga menceritakan bahwa
sampai saat ini setiap hari Minggu, masyarakat Sianggai-Anggai tidak dibenarkan
memotong padi di sawah dan juga setiap Jum’at dilarang turun ke sawah untuk
beraktivitas. Sementara upacara ditutup dengan mendatangi hulu sungai atau
kapalo banda pada hari Sabtu atau hari kedua dan diikuti oleh seluruh
masyarakat dewasa. Dia juga menjelaskan bahwa tradisi bakawue sebelum turun ke
sawah, dimulai ketika di Sianggai-Anggai pernah terjadi selama tiga tahun padi tidak
menjadi, karena diserang kekeringan, wereng dan hama tikus.
Wakil
Bupati Solok, Yulfadri Nurdin, SH, mengaku takjub kepada warga Sianggai-Anggai
yang masih melestariskan budaya leluhur dan tidak terpengaruh oleh arus kemajuan dunia moderen. “Saya merasa kagum
dengan masyarakat Sianggai-Anggai dan nagari Sariak Alahan Tigo, karena sampai
saat ini masih mempertahankan tradisi dari nenek moyang. Dengan demikian di
Kabupaten Solok sudah ada dua tradisi unik yang harus dilestarikan dan akan
tercatat sebagai wisata budaya, yakni di Sianggai-Anggai ini masalah
pelestarisan budaya turun ke sawah dan di nagari Gauang masyarakatnya setiap
habis lebaran Idul Fitri ziarah masaal ke kubur selama satu Minggu tanpa pergi
kemana-mana,” jelas Yulfadri Nurdin. Hanya saja, selama ini tradisi di
Sianggai-anggai kurang diketahui oleh masyarakat luar Sariak Alahan Tigo,
karena kurang terekspos oleh media. “Sebenarnya kekayaan Kabupaten Solok, bukan
hanya hasil alam saja, namun kekayaan ragam budaya juga sagat banyak, namun
belum semua tergali.
Wabub
juga meminta, agar peringatan tiga tahun mendatang, semua alat yang digunakan
harus alami seakan mengingatkan ke zaman dulu, termasuk atap untuk acara juga harus
dari daun alang-alang tidak boleh dari palstik atau seng. “Kalau semua alami,
seperti atap juga dari daun alang-alang, maka seakan kita berada di zaman itu,”
jelas Yulfadri Nurdin. Selain itu, Yulfadri Nurdin juga meminta agar pemerintah
nagari berkoordinasi dengan Dinas Kebudayaan dan mejadikan tradisi di Sianggai
Anggai harus dilestarikan dan dibuatkan sejarahnya, agar generasi penerus bisa
terus menjaga dan membudayakan tradisi unik ini.
Acara diakhiri dengan
cara makan bersama disepanjang lapangan dan masing-masing mendapat nasi bungkus
dan bagi yang mau nambah panitia sudah siap melayani (wandy)
No comments:
Write komentar