WANDY
Dampak Pilkada Langsung Bagi PNS
MESKIPUN
Para Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau ASN sudah jelas-jelas dilarang terjun
kepolitik praktis sesuai PP Nomor 53 Tahun 2010, namun sejauh ini sanksi bagi
mereka yang jelas-jelas melanggar hukum belum benar-benar diterapkan oleh
Pemerintah Daerah.
Pada
Pemilukada serentak yang digelar 9 Desember 2015 lalu, lebih dari separoh
Kepala SKPD atau Dinas yang secara diam-siam dan terang-terangan ikut terlibat
dalam hal dukung mendukung jagoan. Harapannya jelas, jika calon yang didukung
menang, tentu nantinya akan diimbali dengan jabatan strategis. Namun bila
jagoannya kalah, siap-siaplah untuk kena mutasi atau non job. Fakta seperti
ini, tidak hanya terjadi di Provinsi Sumatera Barat, tetapi di Kabupaten Solok
sendiri ha itu tidak bisa dipungkiri. Akibabnya, hubungan harmonis anatara SKPD
dan juga dengan Kepala Daerah terpilih tidak lagi bisa terjalin. Salah satu
contoh yang jelas, ketika Kabupaten Solok memperingati Hari Jadi Kabupaten Solok
yang ke-103 tanggal 9 April lalu, hanya segelintir SKPD dan pejabat eselon yang
kelihatan, karena mereka merasa tidak perlu kerja keras untuk memeriahkan Hari
Jadi Kabupaten Solok, dimana nanti mungkin dalam pikiran mereka terlintas,
untuk apa kerja keras dan sibuk, toh belum tentu Bupati dan Wakil Bupati
terpilih masih memakai mereka. Meski sebanarnya PNS sebelum diangkat sudah
menjalankan sumpah akan mematuhi segala aturan PNS dan patuh kepada atasan.
Selain
itu, adanya ketenmtuan bahwa Kepala Daerah terpilih hanya bisa menyusun
Kabinetnya hanya 6 bulan sesudah dilantik, menjadi salah satu penyebab bagi
pejabat bisa berleha-leha karena pejabat esselon menilai untuk apa terlalu
loyal kepada atasan yang tidak mereka dukung. Sebagaimana
diketahui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Walikota, pasal 162 ayat (3) mengatakan bahwa, Gubernur, Bupati dan
Walikota bisa menganti Kepala SKPD
sebelum 6 bulan dengan catatan apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan
tufoksinya atau melanggar hukum sebagaimana diatur pada UU ASN Nomor 5 Tahun
2014.
Ketentuan kepala daerah hanya bisa
mengganti pejabat selama 6 bulan sesudah menjabat dan ditambah beberapa bulan
sebelum pilkada digelar, membuat bupati terpilih belum bisa total bekerja
karena belum menyusun kabinet atas nama dirinya dan hanya meneruskan kabinet
kepala daerah terdahulu. Pasca 6 bulan ini, sungguh menjadi tidak nyaman bagi
pejabat yang tidak mendukung, karena ancaman non job dan mutasi selalu
menghantui, sehingga kerja tidak lagi merasa nyaman.
Meski menurut Dosen Hukum
Universitas Indonesia yang juga pengacara kondang Hartono,SH,SE,Ak, MH, Kepala
Daerah bisa saja mengganti seorang pejabat apabila yang bersangkutan tidak
patuh kepada atasan. “Kewenangan kepala daerah untuk mengganti atau menjatuhi
hukuman terhadap pejabat tidak harus menunggu enam bulan. Kepala Daerah tetap
bisa melakukan mutasi ataupun pemecatan terhadap seorang pejabat apabila yang
bersangkutan tidak melaksanakan tugas pokok dan fungsinya atau melanggar aturan
disiplin sebagaimana diatur Undang-undang ASN Nomor 5 tahun 2014,” tutur
Hartono.
Artinya, Bupati atau Walikota
sebenarnya bisa saja mengganti Kepala SKPD, bila yang bersangkutan tidak
melaksanakan tufaksinya denganbaik***
No comments:
Write komentar