Saturday 3 December 2016

Mengembalikan Kepercayaan Rakyat Kepada Negara

Oleh Risko Mardinto


MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN RAKYAT KEPADA NEGARA

         ADA dua nasehat orang bijak. Pertama, in crucial thing unity. Artinya, kita mesti bersatu jika menghadapi sesuatu yang penting, apalagi genting. Kemudian, yang kedua, there will always be a solution to any problem. Maknanya, setiap persoalan selalu ada solusinya. Ada jalan keluarnya. Kedua ungkapan ini relevan dengan situasi di negara kita saat ini.
Bangsa Indonesia kembali menghadapi ujian sejarah. Bukan hanya di Jakarta, tetapi juga terjadi di seluruh tanah air. Yang semula isunya cukup sederhana dan bisa dicarikan solusinya, baik secara hukum maupun non hukum, telah berkembang sedemikian rupa sehingga menjadi rumit. Gerakan massa yang mengusung tema  mencari keadilan mendapatkan simpati dan dukungan yang luas. Sementara itu, pemerintah memilih cara melakukan gerakan imbangan dengan tema besar menjaga kebhinnekaan dan NKRI. Sungguhpun niat pemerintah ini tentulah baik, langkah ini justru memunculkan permasalahan baru. Pernyataan penegak hukum bahwa negara akan menindak siapapun yang melakukan tindakan makar, yang disampaikan beberapa hari yang lalu sepertinya tak menyurutkan gerakan pencari keadilan tersebut, bahkan membuat ketegangan sosial semakin meningkat. Apa dengan demikian negara kita menuju ke keadaan krisis? tidak. Saat ini tidak akan ke sana. Dengan catatan, permasalahan yang ada sekarang ini segera diselesaikan secara cepat, tepat dan tuntas.
Dalam situasi seperti ini, secara moral kita semua wajib menjadi bagian dari solusi. Mengamati situasi yang berkembang saat ini, tak baik jika kita berdiam diri.
Kita tahu, bagaimana Jakarta dikepung oleh jutaan ummat muslim dari seluruh tanah air beberapa hari yang lalu, tepatnya Jum'at, 2 Desember 2016. Upaya ini adalah buntut dari aksi damai 4 November 2016 yang menuntut keadilan, hakimi dan adili Ahok yang diduga melakukan pensitaan agama islam. Ini memperburuk situasi sosial dan politik kita.
Memburuknya situasi sosial dan politik sebagaimana yang kita rasakan sekarang ini, sebenarnya preventable. Bisa dicegah. Cuma, barangkali penanganan masalah utamanya di waktu lalu kurang terbuka, kurang pasti dan kurang konklusif. Kebetulan sekali (unfortunately) kasus Gubernur Basuki ini berkaitan dengan isu agama yang sangat sensitif, yaitu berkenaan dengan kitab suci. Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak  yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya. Sama saja sebenarnya dengan penanganan kasus Pak Ahok yang dinilai too little and too late. Nampaknya sudah terlanjur terbangun mistrust (rasa tidak percaya) dari kalangan rakyat terhadap negara, pemimpin dan penegak hukum. Sudah ada trust deficit. Karenanya,  saat ini prioritasnya adalah  mengembalikan  kepercayaan rakyat terhadap negara. Dengan pendekatan yang bijak dan komunikasi yang tulus dan tepat, diharapkan bisa terbangun kembali kepercayaan rakyat terhadap negara dan pemerintahnya.
Mengalirkan isu Pak Ahok ke wilayah SARA, kebhinnekaan dan NKRI, dengan segala dramatisasinya menurut penulis menjadi kontra produktif. Isu Pak Ahok sesungguhnya juga bukan permasalahan minoritas Versus mayoritas. Justru dalam kehidupan bangsa yang amat majemuk ini harus dijaga agar jangan sampai ada ketegangan dan konflik yang sifatnya horizontal. Ingat, dulu diperlukan waktu 5 tahun untuk mengatasi konflik komunal yang ada di Poso, Ambon dan Maluku Utara. Upaya membenturkan pihak-pihak yang berbeda agama dan etnis mesti segera dihentikan. Masyarakat bisa melihat bahwa dalam melakukan aksi-aksi protesnya para pengunjuk rasa tak mengangkat isu agama dan juga isu etnis. Karenanya, jangan justru dipanas-panasi, dimanipulasi dan dibawa ke arah medan konflik baru yang amat berbahaya itu. Mencegah terjadinya konflik horizontal baik di Jakarta maupun di wilayah yang lain juga merupakan prioritas.
Sementara itu, ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Dikhawatirkan hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak. Di negeri ini banyak yang amat mengerti mana yang merupakan isu HAM dan mana yang bukan. Kita serahkan saja kepada penegak hukum di negeri sendiri. Biarlah para penegak hukum bekerja secara profesional, adil dan obyektif. Jangan ada pihak yang mengintervensi dan menekan-nekan. Biarlah hukum bicara ~ apakah Pak Ahok terbukti bersalah atau tidak. Begitu pemahaman saya terhadap rule of law.
Tetapi dalam perkembangannya, baik di Jakarta maupun di daerah, gerakan massa sepertinya kini mengarah ke Presiden Jokowi. Saya mengikuti berbagai spekulasi yang menurut saya menyeramkan. Apa itu? Muncul sejumlah skenario tentang penjatuhan Presiden Jokowi. Tak pelak pernyataan Kapolri tentang rencana makar menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat.
Memang sekarang ini namanya fitnah, intrik, adu domba dan pembunuhan karakter luar biasa gencarnya. Termasuk ganasnya "kekuatan media sosial" yang bekerja bak mesin penghancur. Banyak orang menjadi korban, termasuk saya. Semua harus waspada. Jangan sampai kuman di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak. Jangan sampai ada maling teriak maling. Jangan sampai ada yang mancing di air keruh. Mari berwaspada, jangan sampai kita mau diadu-domba. Jangan kita berikan ruang media sosial yang sudah tidak civilized (tidak berkeadaban) hanya untuk menghancurkan peradaban di negeri ini. Banyak yang berpendapat bahwa mesin penghancur” itu tidak selalu bermotifkan ideologi, tapi uang (money power).
Sedih jika menyimak penggunaan bahasa yang amat kasar dan tak sedikitpun menyisakan tata krama dari kelompok Sosmed tertentu. Mereka bukan hanya merusak jiwa kita semua, lebih-lebih anak-anak dan remaja kita, tetapi sesungguhnya juga menghancurkan nilai-nilai luhur Pancasila. Kelompok model ini pulalah yang membuat bangsa kita terpecah dan saling bermusuhan.
ISU MAKAR
Berbicara tentang makar, rakyat tentu tidak akan pernah setuju dengan upaya menurunkan Presiden di tengah jalan. Akan menjadi preseden yang buruk jika seorang Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat kemudian dengan mudahnya dijatuhkan oleh sekelompok orang yang amat berambisi dan haus kekuasaan melalui konspirasi politik. Kalau kita paham konstitusi, seorang Presiden hanya bisa diberhentikan jika melanggar pasal pemakzulan (impeachment article). Memang ada pula pengalaman di banyak negara seorang penguasa jatuh oleh sebuah revolusi sosial atau people's power. Contoh yang paling baru adalah kejatuhan sejumlah penguasa di Afrika Utara (Arab Spring). Tetapi, ingat sebenarnya people's power dan revolusi sosial itu tak bisa dibuat begitu saja. Seolah-seolah seorang elit politik bisa menciptakan revolusi dengan mudahnya.
Dulu ada "Gerakan Cabut Mandat SBY". Sebenarnya, hakikat gerakan itu juga sebuah kehendak untuk melakukan makar namun dihadapi dengan tenang dan tidak panik oleh presiden sekalipun presiden sendiri tahu gerakan cabut mandat itu. Presiden SBY berpenadangan bah gerakan itu hanyalah keinginan sejumlah elit, bukan rakyat. SBY tetap bekerja, dan terus bekerja. SBY tak berselingkuh dengan merusak nilai-nilai demokrasi dan rule of law, dan kemudian bertindak represif.
Tentu ada sebuah pesan moral. Bagi yang ingin menjadi Presiden atau Wakil Presiden, tempuhlah jalan yang benar dan halal. Ikuti etika dan aturan main demokrasi. Toh pada saatnya akan ada pemilihan Presiden. Sabar.  Jangan nggege mongso.
Kembali kepada situasi nasional saat ini, bagaimanapun permasalahan yang sudah menyentuh hubungan antara rakyat dengan penguasa (vertikal sifatnya), harus diselesaikan dengan baik. Penyelesaian yang dilakukan mestilah  damai, adil dan demokratis. Cegah jangan sampai ada kekerasan yang meluas. Cegah jangan sampai ada martir yang sengaja dijadikan pemicu terjadinya kerusuhan dan kekerasan yang lebih besar. Pemimpin dan pemerintah harus lebih mengutamakan soft power, bukannya hard power. Atau paling tidak paduan yang tepat dari keduanya, yang sering disebut dengan smart power. Persuasi harus lebih diutamakan dan dikedepankan, bukannya represi. Penindakan dari aparat keamanan haruslah menjadi pilihan terakhir, jika harus melindungi keamanan dan keselamatan banyak pihak, utamanya rakyat sendiri.
Dalam keadaan "krisis", semoga tidak terjadi, Presiden harus benar-benar pegang kendali. Jangan didelegasikan. Tutup rapat-rapat ruang dan peluang bagi siapapun yang ingin menggunakan kesempatan dalam kesempitan. Namun, dalam era demokrasi seperti sekarang ini, Presiden tidak boleh menempatkan diri sebagai "penguasa absolut". Bangun hubungan yang baik dan sehat dengan parlemen serta lembaga-lembaga negara yang lain. Jangan hadapkan Presiden dengan rakyat. Jangan sampai Presiden berbuat salah. Ada motto yang berbunyi the president can do no wrong. Artinya, Presiden pantang berbuat salah atau tidak boleh salah. Para pembantu Presiden harus mengawal dan menyelamatkan Presidennya. Sekali lagi, semoga krisis ini tak terjadi.
Sekarang ini Presiden Jokowi dengan para pembantunya haruslah memusatkan pikiran, waktu dan tenaganya untuk menemukan solusi yang terbaik. Bangun dan dapatkan solusi terbaik itu dengan berbagai pihak. Langkah-langkah Presiden Jokowi untuk membangun komunikasi dengan para pemimpin agama, pemimpin sosial dan pemimpin politik perlu dilanjutkan. Jangan hanya mengejar kuantitas, tetapi kualitas. Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi juga jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan. Rangkullah rakyat, pemegang kedaulatan yang sejati, dengan penuh kasih sayang. Teduhkan hati mereka, jangan justru dibikin takut dan panas. Himbau mereka untuk tak perlu selalu menurunkan kekuatan massa jika hendak mencari keadilan, dengan jaminan pemerintah benar-benar menyelesaikan masalah yang ada secara serius. Cegah dan batasi para pembantu Presiden untuk membikin panggung politiknya sendiri-sendiri. Jadi lebih rumit nantinya. Ingat, in crucial thing unity....
Dalam situasi seperti ini, Marilah kita menahan diri untuk tidak bertindak salah dan melampaui batas, sehingga justru akan mengancam kedamaian, keamanan dan ketertiban sosial di negeri ini. Marilah kita jaga persaudaraan dan kerukunan kita, seberat apapun tantangan yang kita hadapi. Memang adalah sebuah amanah jika rakyat menjadi gerakan moral yang menjunjung tinggi panji-panji kebenaran dan keadilan. Namun, hendaknya perjuangan suci itu dilaksanakan secara damai dan senantiasa berjalan di atas kebenaran Tuhan. 
Akhirnya, menutup tulisan ini, dengan segala kerendahan hati penulis ingin menyampaikan bahwa sebagai pemimpin, tidaklah ditabukan jika ingin melakukan introspeksi dan perbaikan-perbaikan. Mari kembalikan kepercayaan rakyat terhadap negara (Penulis Risko Mardianto, adalah Mahasiswa UMMY Solok)

No comments:
Write komentar

Label

Apakah Anda Puas Setelah Membaca Berita Di Kabar Ranah Minang