Monday 28 November 2016

INTOLERANSI MERUSAK DEMOKRASI

INTOLERANSI MERUSAK DEMOKRASI

Oleh Risko Mardianto


        DALAM kehidupan sosial, untuk menjaga keseimbangan dan keharmonisan hubungan antar kelompok, dibutuhkan toleransi, yakni sikap untuk menenggang rasa, membolehkan, atau membiarkan pendirian (pandangan, pendapat, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda. Tantangan dari toleransi adalah intoleransi.
Toleransi dibutuhkan, terutama dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia yang dihuni berbagai ras, suku, agama, dan golongan. Intoleransi bisa memicu konflik antar suku, agama, ras dan golongan, seperti yang terjadi baru-baru ini di Kabupaten Tolikara, Papua yang kemudian memicu ketegangan di daerah-daerah lain.
Intoleransi merupakan sisi gelap yang muncul mengirisi demokrasi dan sekaligus merusaknya. Karena dalam praktik, demokrasi meniscayakan kemenangan suara mayoritas, maka konsekuensinya, yang minoritas kerap merasa terpaksa menerima aspirasi, kepentingan, serta kemauan-kemauan politik pihak mayoritas. Intoleransi akan mengemuka pada saat antara kedua kelompok (mayoritas-minoritas) tidak terjalin hubungan yang harmonis.
Di negeri ini, intoleransi benar-benar berkembang dengan mengatasnamakan demokrasi. Yang paling sering kita dapatkan, intoleransi itu diekspresikan oleh “para pemilik suara mayoritas” untuk mengecam atau bahkan menistakan “suara minoritas”. Dalam satu dekade terakhir, atas nama demokrasi, intoleransi antar umat beragama berkembang, terutama antara Islam dan Kristen/Katolik. Bentrokan, baik dalam skala besar maupun kecil sering terjadi antara kedua kelompok agama ini.
Bahkan dalam satu agama yang berkembang di dalamnya mazhab-mazhab, intoleransi juga merebak. Banyak kita saksikan, para penganut mazhab mayoritas mengucilkan dan mengusir yang minoritas. Di daerah-daerah tertentu, pengikut mazhab minoritas bahkan bisa dibunuh dan dibakar tanpa ada pembelaaan, bahkan dari negara sekali pun.
Celakanya, pemerintah (baik pusat maupun daerah) cenderung membiarkan, atau bahkan ikut mendukung aksi intoleransi demi untuk memperoleh keuntungan politik, misalnya dukungan dalam Pemilu atau Pilkada. Para pejabat pada umumnya, atas nama demokrasi, tidak berpihak pada siapa yang benar tapi berpihak pada suara mayoritas, meskipun yang mayoritas belum tentu benar. Para pejabat yang tunduk pada suara mayoritas akan berakibat pada pengabaian Pamerintah terutama oleh kelompok (pemilik suara) mayoritas.
Demokrasi yang tidak dibarengi toleransi, jika dibiarkan berkembang secara perlahan namun pasti akan membunuh demokrasi itu sendiri. Karena pada saat otoritas pemerintah tak lagi dihiraukan, dan hak-hak orang lain diabaikan, maka pada saat itulah demokrasi akan mati. Itulah sebab, mengapa toleransi, menurut Robert Putnamm, menjadi modal sosial yang teramat penting bagi demokrasi.
Di Eropa dan Amerika, toleransi sudah menjadi fondasi bagi bangunan negara yang ditemukan dan dipelihara sejak awal sebagai instrumen nilai untuk menata keadaban publik dan demokrasi. Sejak abad ke-17, prinsip dasar toleransi sudah ditekankan John Locke dalam A Letter Concerning Toleration , (1689). Dari kota pengungsian di Amsterdam, Locke menulis surat terbuka tentang pentingnya toleransi untuk negerinya tercinta, Inggris, yang saat itu sedang diselimuti suasana intoleransi dan tahun-tahun konflik berdarah.
Para dissenters --sebutan untuk mereka yang berbeda pendapat dan menolak pemaksaan doktrin Gereja Anglikan yang didukung Pemerintah—menjadi korban penyiksaan secara politik dan keagamaan. Peristiwa itu mendorong Locke untuk mengingatkan bahwa tugas pemerintah sipil bukanlah mendukung Gereja Anglikan; tetapi menjaga prinsip netralitas dalam masalah keyakinan agama dan iman. Setiap usaha intervensi iman oleh kekuatan eksternal, baik pemerintah sipil maupun institusi keagamaan, mengandung kekeliruan pada dirinya sendiri. Sebab, iman yang benar, kata Locke, bukan ditentukan oleh kekuatan eksternal; melainkan oleh hati nurani individu. Bahkan kekuatan mayoritas yang mengatasnamakan demokrasi pun tak boleh menindas yang minoritas.
Argumen itulah yang diadopsi “Bapak Konstitusi Amerika”, James Madison, untuk merumuskan konstitusinya. Sadar akan posisi agama dan iman sebagai anugerah Tuhan, bukan manusia, maka Madison mendesain toleransi dan kebebasan beragama sebagai spirit utama Konstitusi Amerika. Kebebasan beragama ditafsirkan sebagai kebebasan dari agama apa pun. Karena itu, atheis pun dijamin Konstitusi. Juga, sekte dan aliran agama apa pun dan ada berapa pun pengikutnya, dibiarkan hidup dan berkembang.
Indonesia, seperti halnya Amerika, sebenarnya didesain Bapak Pendiri Bangsa di atas fondasi serupa. “Bhineka Tunggal Ika” (Berbeda-beda tetapi tetap satu juga), melambangkan motto yang serupa dengan Amerika, “ E Pluribus Unum ,” “Satu dari Banyak.” Setiap warga diikat oleh kesatuan komitmen dan tekad suci akan pluralitas.
Hidup di negara paling pluralis di dunia seperti Amerika dan Indonesia, mensyaratkan toleransi yang tinggi. Ini adalah anak tangga ke arah terwujudnya high trust society . Amerika mencerminkan warganya yang punya tingkat kepercayaan tinggi satu dengan lainnya karena toleransi yang tinggi.
Indonesia justru sebaliknya, low trust society ; ditandai oleh rendahnya tingkat kepercayaan satu warga dengan warga lainnya. Kehidupan kita, hampir di semua lini, ditandai rasa curiga dan sarat rumor, dengan kadar toleransi yang rendah pula. Padahal, toleransi yang rendah, dengan sendirinya, mudah retak dan membawa kita ke jurang perpecahan.
Masyarakat dengan kadar toleransi yang rendah menjadi lahan subur bagi tumbuhnya intoleransi. Jika hal ini dibiarkan berkembang sudah pasti akan merusak demokrasi yang prinsip-prinsip dasarnya telah dengan susah payah dibangun oleh para pendiri bangsa ini (Penulis merupakan menteri luar negeri BEM UMMY Solok)

No comments:
Write komentar

Label

Apakah Anda Puas Setelah Membaca Berita Di Kabar Ranah Minang