Oleh: Risko Mardianto
HIDUP DALAM PERMUSYAWARATAN YANG TERWAKILKAN
Meminangkembali janji politik wakil rakyat yang katanya bersahabat memang tidak mudah. Apalagi soal kemaslahatan rakyat. Janji kosong banyak sekali. Retorika membumi dimana-mana. Bukankah untuk membangun itu perlu kesadaran, perlu semangat, perlu kebersamaan?, ah...entahlah, boleh jadi suara rakyat yang katanya suara tuhan itu hanya slogan yang diteriakkan lalu diberi tepuk tangan. Bicara soal suara rakyat suara tuhan, habis waktu dibuatnya. Tujuh hari tujuh malam mungkin tak selesai. Lantas, buat apa hal yang tak pernah selesai dijanjikan kepada rakyat jelata yang jelas-jelas tak mengerti apa-apa. Kelompok elite lakukan pembodohan kepada kelompok jelata, opini soal kesejahteraan digiring sedemikian rupa untuk mendapatkan hati dan suara , janji, ah lupakan saja. Toh membangun kawasan nan indah ini hanya perlu janji. Janji itu abstrak, tidak nyata. Kalau mau nyata, aksi. Aksk itu semangat, semangat itu kemauan. Semangat kesadaran dalam hati.
Berbicara semangat tentu berbicara soal kemauan, bicara kemauan berarti menanya hati ; tanyakan hati apakah masih ada ruang untuk meneguhkan kembali semangat kebersamaan.
Masyarakat Minangkabau sungguh terkenal dengan keelokan prilaku dan kultur budaya yang sangat bersahabat, baik dan membumi sekali. Semangat kebersamaan mengakar dihati masyarakat minangkabau itu. Berabad-abad yang lalu, sejarah mencatat bahwa kebersamaan menjadi pondasi penting dalam membangun suatu peradaban. Dengan kebersamaan, Indonesia merdeka. Penjajah terusir dari tanah jajahan. Kebersamaan masyarakat minang juga begitu, bersama-sama maka jadilah pembangunan. Pro dan kontra itu meninabobokkan, ia menghilangkan semangat dan memudarkan kebersamaan. Peran semangat dan kebersamaan menjadi penentu peradaban dalam sejarah panjang kehidupan kita, manusia.
Hari ini, kebersamaan itu mulai tak sesemarak dulu. Semangat itu tak lagi berkobar, teriakan hanya tinggal teriakan. Pekik jelata hanya tinggal pekiknya saja, tidak ada reaksi balasan dari masyarakat terhadap pekik jelata itu. Seolah-olah keadaam disekitar kita baik-baik saja.
Kabupaten Solok bagian dari kawasan Minangkabau yang memiliki semangat kebersamaan yang kental dengan etikanya yang santun. Bijak dalam mengarifi segala persoalan. Kabupaten Solok itu bidadarai. Banyak sekali objek yang bisa dikembangkan untuk kemajuan masyarakatnya. Dimedia sosial, kerapkali ditemukan postingan yang menggambarkan kegelisahan masyarakat atas kehidupan mereka namun hal itu seolah-olah tidak digubris oleh para wakilnya. Nyaris, ketika rakyat meminta bantuan kepada wakilnya, sang wakil itu berkata ; "Maaf, ambo lagi banyak keperluan", dan masih dihari yang sama ia memasang potretnya bersama para kolega disebuah hotel berbintang dengan segala sajian enak dan mewah, itu memalukan. Lalu kalau sudah begini, jelata bisa apa?
Akibat dari keteledoran para wakil rakyat itu, masyarakat menjadi tidak begitu percaya lagi kepada lembaga penyalur aspirasi itu. Alhasil dari ucapan yang singkat itu rakyat tak lagi mau tahu soal pembangunan yang tak membangun itu. Ya, pembangunan yang tak membangun, mimpi saja yang dibesar-besarkan. Soal rakyat, urusan kudian. Urusa paling akhir yang bukan prioritas utama.
Kalau bicara soal pembangunan dimana kita mengupas soal keadilan sosia bagi seluruh rakyat, berarti kita bicafa soal hajat hidup orang banyak. Kalau sudah bicara orang banyak kita perlu persatuan, kita butuh kebersamaan. Rasa senasib sepenanggungan itu perlu sekali. Kalau sudah bersatu, manjadi padi kita, rancak hasil bawang jo lado kita ini. Tak perlu susah-susah, komando ada ditangan rakyat , kedaulatan ada ditangan rakyat. Wakil rakyat adalah perpanjangan tangan rakyat yang dilegalkan secara konstitusi, maka wajib perhatikan rakyat.
Sekali lagi, rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi dinegeri ini, termasuk di Kabupaten Solok, bumi yang terkenal sejuk dengan sejuta pesonanya. Mari membangun dengan semangat kebersamaan, dengar aspirasi massa lalu perjuangkan. Jangan memperjuangkan hal yang hanya sekedar mimpi yang disorak-soraikan. Kalau sudah keinginan masyarakat atau rakyat, tidak akan ada lagi kesenjangan. Tidak akan adalagi suara-suara sumbang tentag kinerja para wakil mereka.
Dengar suara rakyat, dengar suara tokoh, suara pemuda, suara pemuka masyarakat , minta maunya seperti apa da bagaimana. Setelah itu lahirkan konsep atau platform pembangunan kemudian bersama mewujudkan dan menjaganya. Karena segala sesuatu yang akan dipersembahkan untuk rakyat haruslah mengakar dari rakyat dan membumi bersama rakyat. Bukankah pembangunan itu tentang apa yang diinginkan rakyat dan bukan apa yang di inginkan penguasa?***
No comments:
Write komentar