Inilah nenek Suna (80), yang mengaku warga Batu
Bajanjang, kecamatan Lembang Jaya Kabupaten Solok, yang menjalani profesi
mengemis di hari tuanya.
Nenenk Suna 80 Tahun Mengemis Setiap Hari Di
Kantor Bupati Solok
SOLOK, KP
Bagi
kalangan pegawai atau PNS di Kabupaten Solok, wajah nenek tua yang berprofesi
sebagai pengemis mungkin tidak akan asing lagi. Hampir setiap hari nenek yang
mengaku bernama Suna (80), dan mengaku berasal dari nagari Batu Bajanjang,
kecamatan Lembang Jaya Kabupaten Solok.
Ketika
ditanya KORAN PADANG Rabu (12/10) siang kemaren, nenek Suna menyebutkan bahwa
profesi mengemis sudah dijalaninya setiap hari selama 4 tahun terakhir. “Saya
hanya libur pada hari Minggu saja dan dulu nenek juga pernah mengemis di kota
Solok. Habis bagaimana lagi, siapa yang akan membiayai nenek,” ucapnya sendu.
Ketika ditanya, apakah tidak ada anak atau saudara, nenek itu tampak seperti
menyimpan sesuatu yang sulit untuk diungkapkan. “Saya hanya ada cucu, makanya
saya hidup meminta-minta dari belas kasihan orang lain,” tuturnya. Ketika
ditanya, apakah ada orang yang mengantar jemput setiap hari ke kantor Bupati,
nenek Suna juga menjawab tidak ada dan hanya menumpang naik angkot dari nagari
Cupak pulang pergi. Sementara berapa uang yang didapat satu hari dari hasil
mengemis, nenek Suna juga menyebutkan bahwa hasilnya tidak menentu. “Dulu bisa
Rp 300 ribu, namun sekarang tidak menentu, bisa antara Rp 50 sampai 100 ribu
saja,” sebut nenek Suna, ketika berbicang dengan di ruang Bagian Umum Kantor
Bupati Solok.
Secara
fisik, nenek Suna memang tidak usah diragukan. Meski mengaku sudah berusia 80
tahun, tetapi nenek ini tampak sehat, meski wajah dan kulit keriput sudah
memenuhi seluruh kulitnya. Namun pertanyaannya, sampai kapan nenek ini harus
menjalani hidup dengan mengemis, karena sudah seharusnya diusia senja beliau
istirahat menikmati hidup. “Ya, kita juga kasihan melihat beliau, tetapi kita
takutnya ada yang memanfaatkan nenek ini, karena hampir setiap hari berkeliling
masuk ke luar kantor meminta-minta,” tutur Nora, salah seorang staf Humas
Pemkab Solok.
Klausul dalam Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang
menyatakan “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara negara” mungkin bisa
menjadi memiliki arti yang berbeda-beda. Hal ini sangat bergantung pada dari
sudut mana seseorang memaknainya. Jumlah fakir miskin dan anak terlantar yang
terus bertambah bisa menunjukkan negara telah bersalah karena tidak memberikan
penghidupan yang layak kepada mereka. Namun, terus bertambahnya mereka juga
dapat dibenarkan berdasarkan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 tersebut karena negara
memang “memelihara” (membiarkan tumbuh) mereka. Lalu siapa yang
bertanggungjawab atas kehidupan yang layak nenek Suna, keluarga, Dinas Sosial
atau negarakah?
Dari uraian di atas, pembaca tentu sudah bisa menyimpulkan dan memberikan
jawaban terhadap judul yang diangkat. Dalam kondisi apapun, negara tetap dapat
dikatakan “memelihara” fakir miskin dan anak terlantar. Negara membiarkan
mereka terus berkembang dan bertambah jumlahnya tanpa melakukan program
pengentasan dari penderitaan hidup mereka, dapat dikatakan telah “memelihara”.
Sebaliknya, negara melakukan program pengentasan dan pemberdayaan sehingga
mereka terlepas dari kondisi fakir, miskin, dan keterlantarannya juga memenuhi
arti kata “memelihara”, termasuk halnya dengan nenek Suna. Entah sampai kapan
nenek ini akan menjalani profesi mengemis dan kepada siapa kita akan bertanya?
(wandy)
No comments:
Write komentar