Monday 21 November 2016

WARGA ROHINGYA DIBANTAI MILITER MYANMAR, DEKLARASI HAM PBB SEPERTI TAK BERLAKU



OLEH Risko Mardianto

Belakangan, pembantaian, penembakan, pembunuhan, pemerkosaan dan penjarahan terhadap komunitas muslim Rohingya di Rakhine yang diduga dilakukan oleh militer Myanmar menjadi sorotan diberbagai media massa, baik media Internasional maupun media nasional Indonesia. Lebih disesalkan sikap Aung San Suu Kyi yang jadi pihak berkuasa dinegara itu yang menilai memiliki sikap memalukan, melakukan pembiaran terhadap sikap keji militer Myanmar. Ia bungkam atas derita yang dialami komunitas rohingya padahal menurut pemberitaan media massa berbagai bukti menyatakan bahwa militer Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM berat dinegara itu.
Suu Kyi meraih Hadiah Nobel Perdamaian saat jadi korban penindasan junta militer ketika dia jadi pemimpin oposisi Myanmar. Suu Kyi diharapkan masyarakat internasional jadi pembela komunitas tertindas, tapi bungkam atas nasib komunitas Rohingya di negaranya.
Kritikan keras terhadap Suu Kyi, salah satunya disuarakan media Bangladesh, Dhaka Tribune , dalam editorialnya, hari Senin (21/11/2016) yang berjudul “ Come together for the Rohingyas ”.
“Penaklukan dan penindasan brutal terhadap komunitas Rohingya terus terjadi meskipun pemerintah Aung Sun Suu Kyi berada di kekuasaan,” bunyi editorial itu. “Ini adalah realitas mengerikan dari komunitas minoritas ini yang mendiami negara bagian Rakhine, Myanmar,” lanjut editorial tersebut.
Bangladesh telah mengecam keras pemerintah Suu Kyi, karena komunitas Rohingya jadi korban penganiayaan militer Myanmar ketika hendak melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh.
“Yang lebih bermasalah adalah bagaimana Myanmar terus menyangkal keadaan ini, meskipun bukti menyatakan sebaliknya,” kritik media Bangladesh itu. ”Ini sangat memalukan bahwa bangsa itu terus berperilaku dengan cara ini meskipun kemarahan internasional terhadap taktik yang tidak manusiawi tersebut,” lanjut kritik tersebut mengacu pada pemerintahan Suu Kyi.
Pemerintah Bangladesh berencana menjatuhkan sanksi perdagangan yang ketat pada Myanmar kecuali komunitas Rohingya diperbolehkan kembali ke tanah air mereka dan diberikan hak yang sama sebagai warga negara Myanmar.
“Penganiayaan terus terjadi pada komunitas Rohingya Myanmar, tidak hanya suara buruk dari Myanmar, tapi dari seluruh dunia. Tidak bisa lagi dunia berpangku tangan dan menonton,” imbuh kritik editorial itu.
Konflik antara etnis Rohingya dan mayoritas penduduk Myanmar yang mayoritas beragama Budha seolah tak berkesudahan. Puluhan ribu warga Rohingya terlunta-lunta mengungsi ke negara lain, termasuk Indonesia.
Di Myanmar, etnis Rohingya tak diakui sebagai warga negara. Mereka kesulitan memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan perumahan yang layak. Kekerasan juga terus terjadi.
Secara umum orang berpendapat, krisis Rohingya di Myanmar adalah masalah agama. Tetapi menurut Kepala bidang penelitian pada South Asia Democratic Forum, Siegfried O Wolf, krisis ini lebih bersifat politis dan ekonomis.
Dari sisi geografis, penduduk Rohingya adalah sekelompok penganut Muslim yang jumlahnya sekitar satu juta orang dan tinggal di negara bagian Rakhine. Wilayah Rakhine juga ditempati oleh masyarakat yang mayoritas memeluk agama Budha. Rakhine dikenal sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam. Tetapi hal itu menjadi timpang ketika pada kenyataannya tingkat kemiskinan di sana ternyata tinggi.
"Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah penyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok," kata Siegfried O Wolf saat diwawancarai oleh media Jerman Deutsche Welle (DW) sebagaimana dikutip dari pemberitaan media massa.
Mayoritas warga Rakhine menilai Rohingya sebagai saingan dalam hal mencari pekerjaan maupun untuk kesempatan untuk berwirausaha. Dari permasalahan politik, warga Rakhine merasa jika kaum Rohingya telah mengkhianati mereka lantaran tidak memberikan suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat.
"Jadi bisa dibilang, rasa tidak suka warga Buddha terhadap Rohingya bukan saja masalah agama, melainkan didorong masalah politis dan ekonomis," kata Wolf.
Hal ini diperburuk oleh sikap pemerintah Myanmar yang bukannya mendorong rekonsiliasi, tetapi malah mendukung kelompok fundamentalis Budha.
Umat Budha di dunia sendiri mengutuk kekerasan yang dilakukan kelompok garis keras di Myanmar. Tahun 2014 lalu, Dalai Lama meminta Umat Budha menghentikan kekerasan di Myanmar dan Sri Lanka.
"Saya menyerukan kepada umat Buddha di Myanmar, Sri Lanka, membayangkan wajah Buddha sebelum mereka berbuat kejahatan. Buddha mengajarkan cinta dan kasih sayang. Jika Buddha ada di sana, dia akan melindungi muslim dari serangan umat Buddha," pesan Dalai Lama.
Di dalam negeri Myanmar, nyaris tak ada yang membela Muslim Rohingya. Dunia mengutuk pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi yang diam seribu bahasa soal penindasan di Rohingya.
Dari salah satu sumber lain juga disebutkan, Warga Rohingnya adalah komunitas yang mayoritasnya Muslim, dan tinggal di negara bagian Rakhine yang berjumlah sekitar sejuta jiwa dan bukan merupakan kelompok masyarakat terbesar di Rakhine. Sebagian besar warga Rakhine beragama Buddha. Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks spesial ini, Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah peyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konflik senjata antar kedua kelompok.
Selain itu, kelompok Rakhine merasa dikhianati secara politis, karena warga Rohingnya tidak memberikan suara bagi partai politik mereka. Ini menyebabkan tambah runcingya ketegangan. Sementara itu, pemerintah tidak mendorong rekonsiliasi, melainkan mendukung fundamentalis Buddha dengan tujuan menjaga kepentingannya di kawasan yang kaya sumber alam tersebut. Faktor-faktor ini adalah penyebab utama di balik konflik antar kelompok etnis dan antar agama. Ini juga jadi penyebab memburuknya kondisi hidup warga Rohingya, serta pelanggaran hak-hak sosial-politis mereka.
Pendeknya, solusi domestik bagi masalah Rohingnya hanya bisa tercapai jika kelompok elit Myanmar yang memerintah, serta para pengambil keputusan, mengubah pola pikir mereka. Tapi perebutan sumber daya alam, keuntungan dari proyek-proyek pembangunan dan bangkitnya kelompok fundamentalis Buddha kemungkinan akan mencegah itu terjadi.
Mengapa warga Buddha Myanmar menentang Rohingya? Apa ini hanya masalah agama, atau ada masalah lainnya?
Hubungan antar agama di Myanmar adalah masalah yang sangat kompleks. Warga Muslim, terutama Rohingya, dikonfrontasikan dengan rasa takut mendalam terhadap Islam di masyarakat dan negara yang mayoritas warganya beragama Buddha. Warga yang fundamental mengklaim bahwa kebudayaan Buddha serta masyarakat terdesak oleh warga Muslim. Apalagi Myanmar dikelilingi negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam, seperti Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Warga Rohingnya dianggap sebagai ancaman terhadap gaya hidup dan kepercayaan Buddha, dan jadi jalan menuju islamisasi Myanmar.
Apakah proses demokratisasi di Myanmar membantu Rohingya?
Proses ini sampai sekarang belum menghasilkan perbaikan kondisi masyarakat. Politik Myanmar membuktikan bahwa proses demokrasi bisa membuahkan rezim yang mewakili warga mayoritas, dan tidak memperhatikan warga minoritas sama sekali. Myanmar punya sistem politik yang berdasar pada kekuasaan mayoritas tanpa proteksi secara institusional bagi hak-hak warga minoritas.
Namun demikian, ada harapan besar bahwa ikon demokrasi Aung San Suu Kyi akan mengubah situasi dan berupaya agar kebudayaan politik yang merangkum semua warga bisa tercipta. Tapi pemenang Nobel perdamaian itu sudah mengejutkan banyak pengamat politik karena tidak memberikan komentar apapun menyangkut kesengsaraan warga Rohingnya.
Sikap diamnya penguasa Myanmar terhadap tindakan militernya kepada komunitas rohingya seolah-olah membiarkan pelanggaran HAM berkembang dinegaranya, dan ini akan menjadi catatan dan preseden buruk terhadap proses penegakan Ham didunia. Olehsebab itu, seluruh muslim harus mendorong penegakan HAM untuk Rohingya serta mendorong tegaknya keadilan bagi warga muslim Rohingya. Dunia tidak boleh menutup mata atas pembantaian muslim rohingya itu tadi. Menutup mata berarti melakukan pembiaran dan itu sama saja melegalkan pembunuhan diatas bumi Myanmar dimana boleh jadi hal yang sama juga terjadi dinegara lain, termasuk Indonesia. Semoga!


No comments:
Write komentar

Label

Apakah Anda Puas Setelah Membaca Berita Di Kabar Ranah Minang