Oleh: WANDY
Wacana Full Day School Membuat Kegaduhan Dikalangan Pendidik
WACANA Perpanjangan Jam Sekolah
atau “Full Day School” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir
Effendy, mendapat berbagai reaksi dari kalangan masyarakat.
Penolakan rencana Full Day School
bagi siswa SD dan SMP sederajat di seluruh Tanah Air, bukan hanya datang dari
pulau Jawa dan Sulawesi. Tetapi penolakan jam sekolah sama dengan jam kerja,
juga datang dari Kabupaten Solok. “Kalau anak-anak berada seharian penuh di
sekolah, kapan lagi waktunya untuk bermain, mengaji atau bersosialisasi dengan
lingkungan. Kalau itu terjadi, maka saya yakin dalam satu tahun banyak
anak-anak yang akan setres berat,” terang Ketua LSM Perak, Yemrizon Dt Penghulu
Nan Sati. Ditambahkan Yemrizon, meski sebenarnya niat dari Bapak Menteri itu
sangat baik, tetapi hal itu dirasa belum cocok diterapkan di Indonesia, karena
hanya akan berdampak pada penindasan kemerdekaan sianak. Selain butuh
pengkajian yang dalam, Full Day School juga harus mempertimbangkan kearifan
lokal dan bukan hanya berdasarkan analisa yang lahir dari luar negeri yang
belum tentu cocok di Indonesia.
Sementara menurut salah seorang
orang tua murid, Darlamsyah, jika Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan tetap
memaksakan Full Day School di sekolah-sekolah, maka pembuat kebijakan jelas
telah keliru dan berbahaya. “Anak-anak itu cepat jenuhnya, maka kalau ini tetap
dipaksakan, saya yakin mental sianak akan cepat down dan ini hanya baru cocok
bagi siswa yang berada di kota besar, sebab orang tua mereka sibuk setiap
hari,” tambah Darlamsyah.
Selain
itu, beberapa jam setelah wacana Menteri Muhadjir Effendy, mengeluarkan
statmennya, maka mulailah usaha penolakan bermunculan datang dari masyarakat di
seluruh tanah air. Sebenarnya Menteri Muhadjir mengapungkan gagasan sekolah
sehari penuh dengan alasan memperpendek waktu siswa berada di luar sekolah.
Karena itu, siswa mendapat tambahan jam untuk belajar pendidikan karakter budi
pekerti dari para guru. Muhadjir memperoleh ide itu dari negara Skandinapia
yakni Finlandia, yang dinilai memiliki SDM terbaik. Di sana, siswa diberikan
pendidikan karakter. Selain itu, dengan adanya Full Day School, maka akan bisa
membantu guru mendapatkan tambahan jam mengajar menjadi 24 jam per minggu
hingga memenuhi syarat mendapatkan sertifikasi guru. Selain itu, dengan adanya
Full Day School, maka para siswa dinilai akan lebih aman jika berada di sekolah
sampai orang tua menjemputnya. Namun bagi masyarakat yang tinggal di kampung
atau pedalaman yang biasanya dunia anak adalah dunia bermain, maka hal ini
jelas akan merampas hak dan kemerdekaan sianak. Dijelaskan Muhaijir, gagasan
penerapan konsep sekolah sehari penuh didasarkan pada program Nawa Cita Presiden
Joko Widodo. Pada program itu, pendidikan dasar diharuskan terdiri atas
komposisi 70 persen karakter dan 30 persen pengetahuan. Sedangkan pendidikan
menengah pertama 60 persen karakter dan 40 persen pengetahuan. “Seharusnya
Bapak Menteri Pendidikan mengkaji lagi wacana tersebut atau memtakan sekolah
mana saja yang bisa diterapkan sama dengan orang kerja, baru
mengimplementasikan perpanjangan jam sekolah. Bisa saja nanti anak orang
diurus, sementara anak guru sendiri di rumah dilupakan,” ungkap tokoh pemerhati
politik Kabupaten Solok, Nova Indra.
Beberapa guru dan Kepala sekolah
yang diminta pendapatnya di Kabupaten Solok, malah rata-rata menolak rencana
Full Day School tersebut. “Guru itu kan mengajar mengeluarkan suara, kalau
lebih dari 6 jam sehari, maka jelas akan menguras fisik dan tenaga sang guru,
apalagi kebanyakan dari guru adalah wanita. Selain itu, anak-anak cepat merasa
jenuhnya,” terang salah seorang guru di Kabupaten Solok. Dirinya berharap agar
penggantian Menteri jangan ganti pula kurikulum. Sebenarnya kurikulum tidak
usah gonta ganti, hanya saja kalau ada yang kurang, mari kita sempurnakan agar
tidak selalu menimbulkan kegelisahan. Semoga rencana Full Day School di
sekolah-sekolah di tanah air, bisa dikaji ulang oleh pengambil kebijakan dan
juga memperhatikan kearifan lokal***
No comments:
Write komentar