Monday 7 November 2016

Wacana Full Day School Membuat Kegaduhan Dikalangan Pendidik

Oleh: WANDY

Wacana Full Day School Membuat Kegaduhan Dikalangan Pendidik


            WACANA Perpanjangan Jam Sekolah atau “Full Day School” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy, mendapat berbagai reaksi dari kalangan masyarakat.
            Penolakan rencana Full Day School bagi siswa SD dan SMP sederajat di seluruh Tanah Air, bukan hanya datang dari pulau Jawa dan Sulawesi. Tetapi penolakan jam sekolah sama dengan jam kerja, juga datang dari Kabupaten Solok. “Kalau anak-anak berada seharian penuh di sekolah, kapan lagi waktunya untuk bermain, mengaji atau bersosialisasi dengan lingkungan. Kalau itu terjadi, maka saya yakin dalam satu tahun banyak anak-anak yang akan setres berat,” terang Ketua LSM Perak, Yemrizon Dt Penghulu Nan Sati. Ditambahkan Yemrizon, meski sebenarnya niat dari Bapak Menteri itu sangat baik, tetapi hal itu dirasa belum cocok diterapkan di Indonesia, karena hanya akan berdampak pada penindasan kemerdekaan sianak. Selain butuh pengkajian yang dalam, Full Day School juga harus mempertimbangkan kearifan lokal dan bukan hanya berdasarkan analisa yang lahir dari luar negeri yang belum tentu cocok di Indonesia.
            Sementara menurut salah seorang orang tua murid, Darlamsyah, jika Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan tetap memaksakan Full Day School di sekolah-sekolah, maka pembuat kebijakan jelas telah keliru dan berbahaya. “Anak-anak itu cepat jenuhnya, maka kalau ini tetap dipaksakan, saya yakin mental sianak akan cepat down dan ini hanya baru cocok bagi siswa yang berada di kota besar, sebab orang tua mereka sibuk setiap hari,” tambah Darlamsyah.
           Selain itu, beberapa jam setelah wacana Menteri Muhadjir Effendy, mengeluarkan statmennya, maka mulailah usaha penolakan bermunculan datang dari masyarakat di seluruh tanah air. Sebenarnya Menteri Muhadjir mengapungkan gagasan sekolah sehari penuh dengan alasan memperpendek waktu siswa berada di luar sekolah. Karena itu, siswa mendapat tambahan jam untuk belajar pendidikan karakter budi pekerti dari para guru. Muhadjir memperoleh ide itu dari negara Skandinapia yakni Finlandia, yang dinilai memiliki SDM terbaik. Di sana, siswa diberikan pendidikan karakter. Selain itu, dengan adanya Full Day School, maka akan bisa membantu guru mendapatkan tambahan jam mengajar menjadi 24 jam per minggu hingga memenuhi syarat mendapatkan sertifikasi guru. Selain itu, dengan adanya Full Day School, maka para siswa dinilai akan lebih aman jika berada di sekolah sampai orang tua menjemputnya. Namun bagi masyarakat yang tinggal di kampung atau pedalaman yang biasanya dunia anak adalah dunia bermain, maka hal ini jelas akan merampas hak dan kemerdekaan sianak. Dijelaskan Muhaijir, gagasan penerapan konsep sekolah sehari penuh didasarkan pada program Nawa Cita Presiden Joko Widodo. Pada program itu, pendidikan dasar diharuskan terdiri atas komposisi 70 persen karakter dan 30 persen pengetahuan. Sedangkan pendidikan menengah pertama 60 persen karakter dan 40 persen pengetahuan. “Seharusnya Bapak Menteri Pendidikan mengkaji lagi wacana tersebut atau memtakan sekolah mana saja yang bisa diterapkan sama dengan orang kerja, baru mengimplementasikan perpanjangan jam sekolah. Bisa saja nanti anak orang diurus, sementara anak guru sendiri di rumah dilupakan,” ungkap tokoh pemerhati politik Kabupaten Solok, Nova Indra.

           Beberapa guru dan Kepala sekolah yang diminta pendapatnya di Kabupaten Solok, malah rata-rata menolak rencana Full Day School tersebut. “Guru itu kan mengajar mengeluarkan suara, kalau lebih dari 6 jam sehari, maka jelas akan menguras fisik dan tenaga sang guru, apalagi kebanyakan dari guru adalah wanita. Selain itu, anak-anak cepat merasa jenuhnya,” terang salah seorang guru di Kabupaten Solok. Dirinya berharap agar penggantian Menteri jangan ganti pula kurikulum. Sebenarnya kurikulum tidak usah gonta ganti, hanya saja kalau ada yang kurang, mari kita sempurnakan agar tidak selalu menimbulkan kegelisahan. Semoga rencana Full Day School di sekolah-sekolah di tanah air, bisa dikaji ulang oleh pengambil kebijakan dan juga memperhatikan kearifan lokal***

No comments:
Write komentar

Label

Apakah Anda Puas Setelah Membaca Berita Di Kabar Ranah Minang